Kekerasanbisa terjadi jika konflik sosial berkepanjangan dan mengakibatkan . a. saling menyerah b. akomodasi sosial c. integrasi sosial d. kerusakan fisik dan psikis e. disorganisasi sosial Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila - 26751011 konnichiwame78 konnichiwame78 08.02.2020 Sosiologi Sekolah Menengah Pertama terjawab Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila a. agresivitas individu dan kelompok dala menghadapi suatu masalah Jadisingkatnya, menurut teori ini, kekacauan atau kekerasan akan terjadi di sekolah jika kepemimpinan kepala sekolah tidak memadai/buruk. Hal ini berlaku juga pada semua lingkungan sosial, tidak hanya di sekolah. Apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila A. Kurangnya sarana fisik yang tersedia di masyarakat B. Agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan C. Jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak D. Kekecewaan yang mandalam dari para anggotanya E. Kurangnya sarana fisik yang menurutteori lingkungan sosial,kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila .. a.kurangnya sarana fisik yang tersedia di masyarakat suatu kelompok yang terlaru banyak c.Agresivitas individu dan kelompok menghadapi suatu permasalahan d.kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya e.tidak terciupta hubungan sosial yang serasi antar individu 79 Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila a. agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan b. tidak tercapainya hubungan sosial yang serasi antarindividu c. lingkungan fisik yang tidak kondusif d. jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dimana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan. SekolahMenengah Pertama terjawab Menurut teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila? a. kurangnya sarana fisik yang tersedia di masyarakat b. jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak c. agresivitas individu kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan d. kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya Iklan Jawaban Berdasarkanteori lingkungan sosial , kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila A. Kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya B. Jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak C. Agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan D. Tidak terciptanya hubungan sosial yang serasi dan anatar individu Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila * - 50198848 Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila * mnursyahuda8750 menunggu jawabanmu. Bantu jawab dan dapatkan poin. Pertanyaan baru di Sosiologi. iqrqH. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Miris, Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak, khususnya yang terjadi di lingkungan sekolah. Dilansir dari Federasi Serikat Guru Indonesia mencatat sepanjang tahun 2023 telah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah, dengan korban sebanyak 202 orang anak. Sehingga FSGI menyimpulkan, setiap minggu ada satu orang anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual ini juga beragam, mulai dari guru, kepala sekolah, bahkan pegawai administrasi sekolah. Pemberitaan terkait kasus kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah juga kerap kali berseliweran di media massa, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat terutama wali dari ada tiga kasus kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Pertama, terjadi pada anak berumur 15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, anak tersebut mengaku sudah berhubungan seksual dengan 11 orang yang merupakan guru dan aparat kepolisian. Kedua, kasus serupa juga terjadi di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, seorang kepala madrasah tega memperkosa sembilan orang siswanya. Ketiga, kasus yang paling parah terjadi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, seorang guru nekat melakukan pelecehan seksual di depan kelas dan disaksikan oleh murid-murid lainnya. Hal ini terjadi dengan modus memberikan hukuman agar memberikan efek jera kepada siswa tersebut. Berdasarkan keterangan yang didapat sejauh ini, ada 12 siswa dan 4 diantaranya merupakan anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual oleh oknum guru tersebut. Tiga kasus kekerasan seksual pada anak di atas merupakan gambaran konkret, bahwa fungsi sekolah sebagai pengendali sosial di masyarakat mulai melemah. Fungsi sekolah sebagai pengendali sosial mulai melemah atau dapat dikatakan sudah melemah karena para pelaku kekerasan seksual di sekolah juga merupakan individu hasil pendidikan di sekolah. Sehingga secara langsung pelaku kekerasan seksual tersebut merupakan representatif dari pendidikan yang didapatkannya dahulu. Sekali lagi penulis tekankan, meskipun hanya beberapa individu yang pernah mengenyam pendidikan merupakan pelaku kekerasan seksual ini, akan tetapi hal tersebut pastilah akan menimbulkan stigma negatif pada masyarakat bahwa sekolah dan pendidikan di Indonesia tidak seratus persen menghasilkan individu yang berakhlak dan mematuhi norma-norma juga nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, serta menganggap sekolah bukan lagi tempat yang ramah bagi anak. Kepercayaan masyarakat sudah terlanjur dirusak oleh oknum guru atau civitas academica yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak-anak, dengan bebasnya anak-anak tersebut dapat belajar dan tumbuh tanpa takut menjadi korban kekerasan seksual atau ancaman serupa. Kekerasan seksual di sekolah adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak anak dan tidak boleh ditoleransi dalam lingkungan pendidikan. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang cerdas ada baiknya untuk tidak terlalu cepat menghakimi guru, civitas academica, ataupun sistem pendidikan di Indonesia secara umum yang dianggap tidak mampu mencegah kekerasan seksual pada anak terjadi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan penyebab-penyebab kekerasan seksual melalui kacamata sosiologi pendidikan, sehingga baik masyarakat dan sekolah bisa mengkoreksi celahnya masing-masing. Berdasarkan sosiologi pendidikan, masyarakat dan sekolah saling terkait dan berinteraksi dalam membentuk pendidikan sebagai institusi sosial Abdullah, 2011. Maka, apa yang terjadi di masyarakat juga pasti akan mempengaruhi sekolah dan begitu pula sebaliknya. Untuk menelaah penyebab-penyebab kekerasan seksual pada anak, penulis menggunakan teori anomie sebagai kerangka berpikir. Teori anomie dalam disiplin ilmu sosiologi telah dikembangkan oleh beberapa ahli yang berbeda, salah satunya ialah Emile Durkheim atau lebih dikenal sebagai bapak sosiologi merupakan pemikir awal yang memperkenalkan konsep teori anomie. Menurutnya, anomie terjadi ketika individu merasa kehilangan panduan atau norma yang jelas dalam masyarakat. Anomie dapat muncul karena perubahan sosial yang cepat dan kurangnya integrasi sosial yang memadai Soekanto, 1987. Teori anomie dalam disiplin ilmu sosiologi memberikan pemahaman tentang bagaimana kurangnya norma atau ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang dapat mempengaruhi perilaku individu dan menyebabkan konsekuensi sosial yang tidak diinginkan yaitu dalam hal ini ialah kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan teori tersebut, penulis menilai bahwa modernisasi dan globalisasi lah yang merupakan penyebab kekerasan seksual pada anak terjadi. Modernisasi diibaratkan sebagai pisau yang bisa digunakan untuk melukai dan bisa juga digunakan untuk memberikan manfaat, tergantung pada siapa yang menggunakannya. Modernisasi dengan segala kemajuan dan kecanggihan teknologi yang dihasilkannya membawa dampak yang luas dan cepat kepada masyarakat. Akibat dari modernisasi, hampir semua lapisan masyarakat termasuk guru dan peserta didik mendapatkan akses yang mudah dan hampir tidak memiliki batasan terhadap segala macam informasi, baik positif maupun negatif. Hampir semua lapisan masyarakat juga memiliki gadget seperti telepon genggam yang terhubung dengan internet. Hal ini merupakan hal lumrah di era revolusi industri bahwa gadget dan internet merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Melalui gadget dan internet inilah semua akses informasi didapatkan dengan mudah, termasuk akses terhadap konten-konten pornografi. Meskipun pornografi merupakan salah satu faktor yang mendorong pelaku kekerasan seksual untuk melakukan aksinya, akan tetapi hal ini tetap saja merupakan hal yang perlu diwaspadai. Paparan konten-konten pornografi merupakan hal berbahaya yang mampu meracuni pikiran para generasi penerus bangsa termasuk guru dan peserta didik. Unsur-unsur konten berbau pornografi atau secara terang-terangan menampilkan pornografi bertebaran di berbagai media, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi pikiran seseorang untuk melakukan kekerasan secara singkat dapat dipahami sebagai proses hilangnya batas antarnegara di seluruh dunia. Perkembangan teknologi yang dibawa oleh proses modernisasi jugalah yang memfasilitasi percepatan globalisasi ini. Internet, gadget dan media sosial menjadi sarana utama untuk berkomunikasi dan pertukaran data secara instan antar individu di berbagai belahan dunia. Dampak globalisasi yang paling nyata terlihat adalah pertukaran budaya. Pengaruh budaya asing dapat terlihat dalam bentuk makanan, mode, musik, film, dan gaya hidup. Salah satu kebudayaan yang paling terasa pengaruhnya melalui globalisasi, ialah budaya Barat. Budaya Barat telah banyak mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia. Salah satunya ialah mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat Indonesia dalam menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini ialah mereka yang belum menikah. Budaya Barat umumnya menerima konsep pasangan atau kekasih sebelum pernikahan, atau lebih sering dikenal dengan istilah "pacaran". Kebebasan seksual terhadap lawan jenis yang belum menikah pun dianggap hal biasa dalam budaya Barat. Konsep inilah yang saat ini sering dijumpai dalam masyarakat modern Indonesia. Norma-norma dan nilai-nilai sosial asli kebudayaan Indonesia mulai tergerus akibat globalisasi. Dengan bangganya pemuda-pemudi berdua-duaan tanpa batas, padahal belum terikat dalam pernikahan yang sah secara agama dan negara. Konsep hubungan bebas antar lawan jenis ini secara tidak langsung juga menjadi penyebab kekerasan seksual. Kesimpulannya, modernisasi dan globalisasi mendorong perubahan norma dan nilai sosial di masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan kekerasan seksual pada anak terjadi. Modernisasi dengan segala kemajuan teknologinya menyediakan kemudahan akses terhadap segala macam informasi, termasuk konten pornografi yang merusak pikiran generasi penerus bangsa. Begitu pula dengan globalisasi yang memperkenalkan budaya Barat terutama tentang konsep "pacaran" sehingga pada akhirnya, secara luas dikenal dan menjadi gaya hidup para pemuda dan pemudi bangsa ini. Pornografi dan budaya "pacaran" yang ada pada masyarakat secara langsung juga mempengaruhi guru, peserta didik, ataupun secara umum semua yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah karena juga merupakan bagian dari masyarakat. Menurut teori anomie, paparan pornografi dan budaya "pacaran" ini menciptakan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma asli Indonesia. sehingga berakibat pada kekacauan nilai dan norma, dimana individu menghadapi ketidakpastian tentang apa yang dianggap benar atau salah dalam hubungan seksual dan perilaku terkait. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan Indonesia dalam hal ini telah dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma asing yang tidak sejalan dengan kebudayaan asli Indonesia. Pengaruh tersebut menyebabkan konsep pendidikan asli Indonesia tidak diterapkan secara tegas dan dominan, sehingga melemahnya fungsi sekolah sebagai pengendali sosial berakibat pada munculnya perilaku menyimpang di masyarakat, salah satunya ialah maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Melalui tulisan ini juga, penulis menyadari bahwa untuk mengetahui penyebab-penyebab kekerasan seksual terutama pada anak, memerlukan kajian kompleks yang tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif disiplin ilmu. Akan tetapi, hal ini perlu terus dikaji demi kenyamanan proses pendidikan yang berimplikasi bagi kemajuan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan dukungan dan kesadaran dari semua pihak, yaitu pemerintah, sekolah, masyarakat dan keluarga untuk menemukan solusi yang efektif dalam menangani permasalahan Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta Rajawali 1 2 Lihat Pendidikan Selengkapnya Hallo kak Dian, kakak bantu jawab ya ! Jawabannya adalah E. Lingkungan fisik yang tidak kondusif Yuk, simak pembahasan berikut ! Konflik sosial merupakan suatu proses sosial yang terjadi antara individu maupun kelompok dengan pihak lain yang saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Seringkali konflik yang terjadi di masyarakat mengarah pada tindak kekerasan yaitu menimbulkan luka kepada pihak lain baik secara fisik maupun psikis. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan dalam masyarakat. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dimana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan. Terima kasih sudah bertanya dan menggunakan Roboguru, semoga membantu ya Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin ’violentus’, yang berarti keganasan, kebengisan, kadahsyatan, kegarangan, aniaya, dan pemerkosaan Fromm,2000. Tindak kekerasan, menunjuk kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain, misalnya pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Soerjono Soekanto 2002 98, mengartikan kekerasan violence sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak Narwoko dan Suyanto, 200070. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa tindak kekerasan merupakan perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang atau kelompok lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak pada kerusakan hingga trauma psikologis bagi Bentuk-Bentuk KekerasanKekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Galtung 1996 203 mencoba menjawab dengan membagi tipologi kekerasan menjadi 3 tiga, yaitu1 Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung biasanya berupa kekerasan fisik, disebut juga sebagai sebuah peristiwa event dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan langsung merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum Kekerasan Struktural kekerasan yang melembaga. Disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggung jawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya kebencian, ketakutan, rasisme, intoleran, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Beberapa ahli menyebut tipe kekerasan seperti ini sebagai kekerasan pandangan Bourdieu Martono, 2009 kekerasan struktural dan kultural dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak. Dalam hal kekerasan simbolik hubungan tersebut berkaitan dengan pencitraan pihak lain yang bias, monopoli makna, dan pemaksaan makna entah secara tekstual, visual, warna Contoh sebutan ”hitam” bagi kelompok kulit hitam, sebutan ”bodoh” bagi siswa yang tidak naik kelas, atau sebutan ”miskin” untuk menunjuk orang tidak mampu secara ekonomi, dan dilihat berdasarkan pelakunya, kekerasan juga dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan individual dan kekerasan kolektif. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih individu. Contoh pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain. Sedangkan kekerasan kolektif, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau massa. Contoh tawuran pelajar, bentrokan antar desa. Kekerasan kolektif dapat disebabkan oleh larutnya individu dalam kerumunan, sehingga seseorang menjadi tidak lagi memiliki kesadaran individual atau hilang rasionalitas. Kerusuhan sepak bola mungkin contoh yang tepat untuk kekerasan yang satu ini. Selain juga “penghakiman massa” terhadap pencuri atau pelaku kejahatan jalanan. Klasifikasi lain dikemukakan oleh Sejiwa 2008 20, yang membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan non fisik yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan verbal dan kekerasan psikis. Kekerasan verbal kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contoh membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dan lain-lain. Sementara itu kekerasan psikologis/psikis merupakan kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contoh memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Tindak KekerasanBanyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat menimbulkan rasa keprihatinan yag mendalam dalam diri anggota masyarakat. Setiap kekerasan yang terjadi, tidak sekedar muncul begitu saja tanpa sebab-sebab yang mendorongnya. Oleh karena itu, para ahli sosial berusaha mencari penyebab terjadinya kekerasan dalam rangka menemukan solusi tepat mengurangi Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan berpikir pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia homo homini lupus. Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah. Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengedalikan situasi dan kondisi J. J. Rosseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Dengan kata lain kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni dari kedua tokoh tersebut, ada beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya kekerasan, yaitu sebagai berikut 1 Faktor Individual Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya dan faktor media Faktor Kelompok. Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab Faktor Dinamika Kelompok. Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya. Dalam konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut a Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatusasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan akan berdampak negatif seperti kerugian baik material maupun nonmaterial. Menghentikan kekerasan tentu tidak dapat dilakukan hanya oleh beberapa pihak. Pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dalam negara memang selayaknya menjadi pemimpin dalam upaya menghentikan kekerasan. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kekerasan bukan solusi untuk sebuah permasalahan, tetapi menciptakan permasalahan baru. Pemerintah juga perlu memberikan contoh dan bukti nyata bahwa kekerasan tidak layak untuk dilakukan di sebuah negara merdeka dan demokratis. Di sisi lain, masyarakat juga harus melakukan fungsi pencegahan untuk lebih peduli terhadap ketenteraman lingkungan menuju kehidupan sosial yang damai dan modul belajar mandiri pppk ips sosiologi Pembelajaran 4. Konflik Sosial dan Integrasi Sosial , kemdikbud